Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan 500.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa. Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.
Kata toraja berasal dari bahasa Bugis, to riaja, yang berarti "orang yang berdiam di negeri atas". Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909. Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan
ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja merupakan peristiwa sosial yang
penting, biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama
beberapa hari.
Sebelum
abad ke-20, suku Toraja tinggal di desa-desa otonom. Mereka masih
menganut animisme dan belum tersentuh oleh dunia luar. Pada awal tahun
1900-an, misionaris Belanda datang
dan menyebarkan agama Kristen. Setelah semakin terbuka kepada dunia
luar pada tahun 1970-an, kabupaten Tana Toraja menjadi lambang pariwisata Indonesia. Tana Toraja dimanfaatkan oleh pengembang pariwisata dan dipelajari oleh antropolog. Masyarakat
Toraja sejak tahun 1990-an mengalami transformasi budaya, dari
masyarakat berkepercayaan tradisional dan agraris, menjadi masyarakat
yang mayoritas beragama Kristen dan mengandalkan sektor pariwisata yang terus meningkat.
Identitas etnis
Suku Toraja memiliki sedikit gagasan secara jelas mengenai diri mereka sebagai sebuah kelompok etnis sebelum abad ke-20. Sebelumpenjajahan Belanda dan
masa pengkristenan, suku Toraja, yang tinggal di daerah dataran tinggi,
dikenali berdasarkan desa mereka, dan tidak beranggapan sebagai
kelompok yang sama.
Meskipun
ritual-ritual menciptakan hubungan di antara desa-desa, ada banyak
keragaman dalam dialek, hierarki sosial, dan berbagai praktik ritual di
kawasan dataran tinggi Sulawesi. "Toraja" (dari bahasa pesisir ke, yang berarti orang, dan Riaja, dataran tinggi) pertama kali digunakan sebagai sebutan penduduk dataran rendah untuk penduduk dataran tinggi.[3]Akibatnya, pada awalnya "Toraja" lebih banyak memiliki hubungan perdagangan dengan orang luar—seperti suku Bugis dan suku Makassar, yang menghuni sebagian besar dataran rendah di Sulawesi—daripada dengan sesama suku di dataran tinggi.
Kehadiran misionaris Belanda
di dataran tinggi Toraja memunculkan kesadaran etnis Toraja di wilayah
Sa'dan Toraja, dan identitas bersama ini tumbuh dengan bangkitnya
pariwisata di Tana Toraja.[4] Sejak
itu, Sulawesi Selatan memiliki empat kelompok etnis utama—suku Bugis
(kaum mayoritas, meliputi pembuat kapal dan pelaut), suku Makassar
(pedagang dan pelaut), suku Mandar (pedagang dan nelayan), dan suku Toraja (petani di dataran tinggi).[6]
Sejarah
Teluk Tonkin, terletak antara Vietnam utara dan Cina selatan, dipercaya sebagai tempat asal suku Toraja.[7] Telah
terjadi akulturasi panjang antara ras Melayu di Sulawesi dengan imigran
Cina. Awalnya, imigran tersebut tinggal di wilayah pantai Sulawesi,
namun akhirnya pindah ke dataran tinggi.
Sejak abad ke-17, Belanda mulai menancapkan kekuasaan perdagangan dan politik di Sulawesi melalui Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC).
Selama dua abad, mereka mengacuhkan wilayah dataran tinggi Sulawesi
tengah (tempat suku Toraja tinggal) karena sulit dicapai dan hanya
memiliki sedikit lahan yang produktif. Pada akhir abad ke-19, Belanda
mulai khawatir terhadap pesatnya penyebaran Islam di Sulawesi selatan, terutama di antara suku Makassar dan Bugis.
Belanda melihat suku Toraja yang menganut animisme sebagai target yang potensial untuk dikristenkan. Pada tahun 1920-an, misi penyebaran agama Kristen mulai dijalankan dengan bantuan pemerintah kolonial Belanda. Selain menyebarkan agama, Belanda juga menghapuskan perbudakan dan menerapkan pajak daerah. Sebuah garis digambarkan di sekitar wilayah Sa'dan dan disebut Tana Toraja. Tana Toraja awalnya merupakan subdivisi dari kerajaan Luwu yang mengklaim wilayah tersebut. Pada tahun 1946, Belanda memberikan Tana Toraja status regentschap, dan Indonesia mengakuinya sebagai suatu kabupaten pada tahun 1957.
Belanda melihat suku Toraja yang menganut animisme sebagai target yang potensial untuk dikristenkan. Pada tahun 1920-an, misi penyebaran agama Kristen mulai dijalankan dengan bantuan pemerintah kolonial Belanda. Selain menyebarkan agama, Belanda juga menghapuskan perbudakan dan menerapkan pajak daerah. Sebuah garis digambarkan di sekitar wilayah Sa'dan dan disebut Tana Toraja. Tana Toraja awalnya merupakan subdivisi dari kerajaan Luwu yang mengklaim wilayah tersebut. Pada tahun 1946, Belanda memberikan Tana Toraja status regentschap, dan Indonesia mengakuinya sebagai suatu kabupaten pada tahun 1957.
Misionaris
Belanda yang baru datang mendapat perlawanan kuat dari suku Toraja
karena penghapusan jalur perdagangan yang menguntungkan Toraja. Beberapa
orang Toraja telah dipindahkan ke dataran rendah secara paksa oleh
Belanda agar lebih mudah diatur. Pajak ditetapkan pada tingkat yang
tinggi, dengan tujuan untuk menggerogoti kekayaan para elit masyarakat.
Meskipun demikian, usaha-usaha Belanda tersebut tidak merusak budaya
Toraja, dan hanya sedikit orang Toraja yang saat itu menjadi Kristen. Pada tahun 1950, hanya 10% orang Toraja yang berubah agama menjadi Kristen.
Penduduk
Muslim di dataran rendah menyerang Toraja pada tahun 1930-an.
Akibatnya, banyak orang Toraja yang ingin beraliansi dengan Belanda
berpindah ke agama Kristen untuk mendapatkan perlindungan politik, dan
agar dapat membentuk gerakan perlawanan terhadap orang-orang Bugis dan
Makassar yang beragama Islam. Antara tahun 1951 dan 1965 setelah
kemerdekaan Indonesia, Sulawesi Selatan mengalami kekacauan akibat
pemberontakan yang dilancarkan Darul Islam,
yang bertujuan untuk mendirikan sebuah negara Islam di Sulawesi. Perang
gerilya yang berlangsung selama 15 tahun tersebut turut menyebabkan
semakin banyak orang Toraja berpindah ke agama Kristen.
Pada
tahun 1965, sebuah dekret presiden mengharuskan seluruh penduduk
Indonesia untuk menganut salah satu dari lima agama yang diakui: Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha. Kepercayaan asli Toraja (aluk) tidak diakui secara hukum, dan suku Toraja berupaya menentang dekret tersebut. Untuk membuat aluk sesuai dengan hukum, ia harus diterima sebagai bagian dari salah satu agama resmi. Pada tahun 1969, Aluk To Dolo dilegalkan sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.
Masyarakat
Keluarga
Keluarga adalah kelompok sosial dan politik utama dalam suku Toraja. Setiap desa adalah suatu keluarga besar. Setiap tongkonan memiliki
nama yang dijadikan sebagai nama desa. Keluarga ikut memelihara
persatuan desa. Pernikahan dengan sepupu jauh (sepupu keempat dan
seterusnya) adalah praktek umum yang memperkuat hubungan kekerabatan.Suku
Toraja melarang pernikahan dengan sepupu dekat (sampai dengan sepupu
ketiga) kecuali untuk bangsawan, untuk mencegah penyebaran harta. Hubungan
kekerabatan berlangsung secara timbal balik, dalam artian bahwa
keluarga besar saling menolong dalam pertanian, berbagi dalam ritual
kerbau, dan saling membayarkan hutang.
Setiap orang menjadi anggota dari keluarga ibu dan ayahnya. Anak,
dengan demikian, mewarisi berbagai hal dari ibu dan ayahnya, termasuk
tanah dan bahkan utang keluarga. Nama anak diberikan atas dasar
kekerabatan, dan biasanya dipilih berdasarkan nama kerabat yang telah
meninggal. Nama bibi, paman dan sepupu yang biasanya disebut atas nama
ibu, ayah dan saudara kandung.
Sebelum adanya pemerintahan resmi oleh pemerintah kabupaten Tana Toraja,
masing-masing desa melakukan pemerintahannya sendiri. Dalam situasi
tertentu, ketika satu keluarga Toraja tidak bisa menangani masalah
mereka sendiri, beberapa desabiasanya membentuk kelompok; kadang-kadang,
bebrapa desa akan bersatu melawan desa-desa lain Hubungan antara
keluarga diungkapkan melalui darah, perkawinan, dan berbagi rumah
leluhur (tongkonan), secara praktis ditandai oleh pertukaran
kerbau dan babi dalam ritual. Pertukaran tersebut tidak hanya membangun
hubungan politik dan budaya antar keluarga tetapi juga menempatkan
masing-masing orang dalam hierarki sosial: siapa yang menuangkan tuak,
siapa yang membungkus mayat dan menyiapkan persembahan, tempat setiap
orang boleh atau tidak boleh duduk, piring apa yang harus digunakan atau
dihindari, dan bahkan potongan daging yang diperbolehkan untuk
masing-masing orang.
Kelas sosial
Dalam masyarakat Toraja awal, hubungan keluarga bertalian dekat dengan kelas sosial. Ada tiga tingkatan kelas sosial: bangsawan, orang biasa, dan budak (perbudakan dihapuskan pada tahun 1909 oleh pemerintah Hindia Belanda).
Kelas sosial diturunkan melalui ibu. Tidak diperbolehkan untuk menikahi
perempuan dari kelas yang lebih rendah tetapi diizinkan untuk menikahi
perempuan dari kelas yang lebih tingi, ini bertujuan untuk meningkatkan
status pada keturunan berikutnya. Sikap merendahkan dari Bangsawan
terhadap rakyat jelata masih dipertahankan hingga saat ini karena alasan
martabat keluarga.
Kaum bangsawan, yang dipercaya sebagai keturunan dari surga, tinggal di tongkonan, sementara rakyat jelata tinggal di rumah yang lebih sederhana (pondok bambu yang disebut banua). Budak tinggal di gubuk kecil yang dibangun di dekat tongkonan milik
tuan mereka. Rakyat jelata boleh menikahi siapa saja tetapi para
bangsawan biasanya melakukan pernikahan dalam keluarga untuk menjaga
kemurnian status mereka. Rakyat biasa dan budak dilarang mengadakan
perayaan kematian. Meskipun didasarkan pada kekerabatan dan status
keturunan, ada juga beberapa gerak sosial yang dapat memengaruhi status seseorang, seperti pernikahan atau perubahan jumlah kekayaan. Kekayaan dihitung berdasarkan jumlah kerbau yang dimiliki.
Budak
dalam masyarakat Toraja merupakan properti milik keluarga.
Kadang-kadang orang Toraja menjadi budak karena terjerat utang dan
membayarnya dengan cara menjadi budak. Budak bisa dibawa saat perang,
dan perdagangan budak umum dilakukan. Budak bisa membeli kebebasan
mereka, tetapi anak-anak mereka tetap mewarisi status budak. Budak tidak
diperbolehkan memakai perunggu atau emas, makan dari piring yang sama
dengan tuan mereka, atau berhubungan seksual dengan perempuan merdeka. Hukuman bagi pelanggaran tersebut yaitu hukuman mati.
Agama
Sistem kepercayaan tradisional suku Toraja adalah kepercayaan animisme politeistik yang disebut aluk,
atau "jalan" (kadang diterjemahkan sebagai "hukum"). Dalam mitos
Toraja, leluhur orang Toraja datang dari surga dengan menggunakan tangga
yang kemudian digunakan oleh suku Toraja sebagai cara berhubungan
dengan Puang Matua, dewa pencipta. Alam semesta, menurut aluk, dibagi menjadi dunia atas (Surga) dunia manusia (bumi), dan dunia bawah.[9] Pada
awalnya, surga dan bumi menikah dan menghasilkan kegelapan, pemisah,
dan kemudian muncul cahaya. Hewan tinggal di dunia bawah yang
dilambangkan dengan tempat berbentuk persegi panjang yang dibatasi oleh
empat pilar, bumi adalah tempat bagi umat manusia, dan surga terletak di
atas, ditutupi dengan atap berbetuk pelana. Dewa-dewa Toraja lainnya
adalah Pong Banggai di Rante (dewa bumi), Indo' Ongon-Ongon (dewi gempa bumi), Pong Lalondong (dewa kematian), Indo' Belo Tumbang (dewi pengobatan), dan lainnya.
Kekuasaan di bumi yang kata-kata dan tindakannya harus dipegang baik dalam kehidupan pertanian maupun dalam upacara pemakaman, disebut to minaa (seorang pendeta aluk). Aluk bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi juga merupakan gabungan dari hukum, agama, dan kebiasaaan. Aluk mengatur kehidupan bermasyarakat, praktik pertanian, dan ritual keagamaan. Tata cara Aluk bisa
berbeda antara satu desa dengan desa lainnya. Satu hukum yang umum
adalah peraturan bahwa ritual kematian dan kehidupan harus dipisahkan.
Suku Toraja percaya bahwa ritual kematian akan menghancurkan jenazah
jika pelaksanaannya digabung dengan ritual kehidupan. Kedua ritual tersebut sama pentingnya. Ketika ada para misionaris dari Belanda, orang Kristen Toraja tidak diperbolehkan menghadiri atau menjalankan ritual kehidupan, tetapi diizinkan melakukan ritual kematian. Akibatnya, ritual kematian masih sering dilakukan hingga saat ini, tetapi ritual kehidupan sudah mulai jarang dilaksanakan.
Kebudayaan
Tongkonan
Tongkonan
adalah rumah tradisional Toraja yang berdiri di atas tumpukan kayu dan
dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning. Kata
"tongkonan" berasal dari bahasa Toraja tongkon ("duduk").
Tongkonan
merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang berhubungan
dengan tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja
oleh karena itu semua anggota keluarga diharuskan ikut serta karena
Tongkonan melambangan hubungan mereka dengan leluhur mereka.Menurut
cerita rakyat Toraja, tongkonan pertama dibangun di surga dengan empat
tiang. Ketika leluhur suku Toraja turun ke bumi, dia meniru rumah
tersebut dan menggelar upacara yang besar.
Pembangunan
tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan dan biasanya dilakukan
dengan bantuan keluarga besar. Ada tiga jenis tongkonan. Tongkonan layuk
adalah tempat kekuasaan tertinggi, yang digunakan sebagai pusat
"pemerintahan". Tongkonan pekamberan adalah milik anggota keluarga yang
memiliki wewenang tertentu dalam adat dan
tradisi lokal sedangkan anggota keluarga biasa tinggal di tongkonan
batu. Eksklusifitas kaum bangsawan atas tongkonan semakin berkurang
seiring banyaknya rakyat biasa yang mencari pekerjaan yang menguntungkan
di daerah lain di Indonesia. Setelah memperoleh cukup uang, orang biasa
pun mampu membangun tongkonan yang besar.
Ukiran kayu
Bahasa
Toraja hanya diucapkan dan tidak memiliki sistem tulisan. Untuk
menunjukkan kosep keagamaan dan sosial, suku Toraja membuat ukiran kayu
dan menyebutnya Pa'ssura(atau "tulisan"). Oleh karena itu, ukiran kayu merupakan perwujudan budaya Toraja.
Setiap ukiran memiliki nama khusus. Motifnya biasanya adalah hewan dan tanaman yang melambangkan kebajikan, contohnya tanaman air seperti gulma air dan hewan sepertikepiting dan kecebong yang
melambangkan kesuburan. Gambar kiri memperlihatkan contoh ukiran kayu
Toraja, terdiri atas 15 panel persegi. Panel tengah bawah melambangkan kerbauatau
kekayaan, sebagai harapan agar suatu keluarga memperoleh banyak kerbau.
Panel tengah melambangkan simpul dan kotak, sebuah harapan agar semua
keturunan keluarga akan bahagia dan hidup dalam kedamaian, seperti
barang-barang yang tersimpan dalam sebuah kotak. Kotak bagian kiri atas
dan kanan atas melambangkan hewan air,
menunjukkan kebutuhan untuk bergerak cepat dan bekerja keras, seperti
hewan yang bergerak di permukaan air. Hal Ini juga menunjukkan adanya
kebutuhan akan keahlian tertentu untuk menghasilkan hasil yang baik.
Keteraturan
dan ketertiban merupakan ciri umum dalam ukiran kayu Toraja (lihat
desain tabel di bawah), selain itu ukiran kayu Toraja juga abstrak dan
geometris. Alam sering digunakan sebagai dasar dari ornamen Toraja,
karena alam penuh dengan abstraksi dan geometri yang teratur.Ornamen
Toraja dipelajari dalam ethnomatematika dengan
tujuan mengungkap struktur matematikanya meskipun suku Toraja membuat
ukiran ini hanya berdasarkan taksiran mereka sendiri.[21] Suku Toraja menggunakan bambu untuk membuat oranamen geometris.
Beberapa motif ukiran Toraja | |||
]Upacara pemakaman
Dalam
masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang paling
penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka
biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama aluk, hanya
keluarga bangsawan yang berhak
menggelar pesta pemakaman yang besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan
biasanya dihadiri oleh ribuan orang dan berlangsung selama beberapa
hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut rante biasanya
disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai tempat
pelayat yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan berbagai
perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan.
Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan merupakan
ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu
tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang kelas
rendah.
Upacara
pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu,
berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan,
dengan tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman. Suku
Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan
tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus
dengan beberapa helai kain dan disimpan di bawah tongkonan. Arwah orang
mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai upacara pemakaman selesai,
setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya.
Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau. Semakin berkuasa seseorang maka semakin banyak kerbau yang disembelih. Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan golok.
Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di padang, menunggu
pemiliknya, yang sedang dalam "masa tertidur". Suku Toraja percaya bahwa
arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih
cepat sampai di Puyajika ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan
puncak upacara pemakaman yang diringi musik dan tarian para pemuda yang
menangkap darah yang muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging
tersebut diberikan kepada para tamu dan dicatat karena hal itu akan
dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum.
Ada tiga cara pemakaman: Peti mati dapat disimpan di dalam gua, atau di makam batu berukir, atau digantung di tebing.
Orang kaya kadang-kadang dikubur di makam batu berukir. Makam tersebut
biasanya mahal dan waktu pembuatannya sekitar beberapa bulan. Di
beberapa daerah, gua batu digunakan untuk meyimpan jenazah seluruh
anggota keluarga. Patung kayu yang disebut tau tau biasanya diletakkan di gua dan menghadap ke luar. Peti
mati bayi atau anak-anak digantung dengan tali di sisi tebing. Tali
tersebut biasanya bertahan selama setahun sebelum membusuk dan membuat
petinya terjatuh.
Musik dan Tarian
Suku
Toraja melakukan tarian dalam beberapa acara, kebanyakan dalam upacara
penguburan. Mereka menari untuk menunjukkan rasa duka cita, dan untuk
menghormati sekaligus menyemangati arwah almarhum karena sang arwah akan
menjalani perjalanan panjang menuju akhirat. Pertama-tama, sekelompok
pria membentuk lingkaran dan menyanyikan lagu sepanjang malam untuk
menghormati almarhum (ritual terseebut disebut Ma'badong). Ritual tersebut dianggap sebagai komponen terpenting dalam upacara pemakaman. Pada hari kedua pemakaman, tarian prajurit Ma'randing ditampilkan
untuk memuji keberanian almarhum semasa hidupnya. Beberapa orang pria
melakukan tarian dengan pedang, prisai besar dari kulit kerbau, helm
tanduk kerbau, dan berbagai ornamen lainnya. Tarian Ma'randing mengawali prosesi ketika jenazah dibawa dari lumbung padi menuju rante, tempat upacara pemakaman. Selama upacara, para perempuan dewasa melakukan tarian Ma'katia sambil bernyanyi dan mengenakan kostum baju berbulu. Tarian Ma'akatia bertujuan
untuk mengingatkan hadirin pada kemurahan hati dan kesetiaan almarhum.
Setelah penyembelihan kerbau dan babi, sekelompok anak lelaki dan
perempuan bertepuk tangan sambil melakukan tarian ceria yang disebut Ma'dondan.
Seperti di masyarakat agraris lainnya, suku Toraja bernyanyi dan menari selama musimpanen. Tarian Ma'bugi dilakukan untuk merayakan Hari Pengucapan Syukur dan tarianMa'gandangi ditampilkan ketika suku Toraja sedang menumbuk beras Ada beberapa tarian perang, misalnya tarian Manimbong yang dilakukan oleh pria dan kemudian diikuti oleh tarian Ma'dandan oleh perempuan. Agama Aluk mengatur kapan dan bagaimana suku Toraja menari. Sebuah tarian yang disebut Ma'bua hanya bisa dilakukan 12 tahun sekali. Ma'bua adalah upacara Toraja yang penting ketika pemuka agama mengenakan kepala kerbau dan menari di sekeliling pohon suci.
Alat musik tradisional Toraja adalah suling bambu yang disebut Pa'suling. Suling berlubang enam ini dimainkan pada banyak tarian, seperti pada tarian Ma'bondensan,
ketika alat ini dimainkan bersama sekelompok pria yang menari dengan
tidak berbaju dan berkuku jari panjang. Suku Toraja juga mempunyai alat
musik lainnya, misalnya Pa'pelle yang dibuat daridaun palem dan dimainkan pada waktu panen dan ketika upacara pembukaan rumah.
Bahasa
Bahasa Toraja adalah bahasa yang dominan di Tana Toraja, dengan Sa'dan Toraja sebagai dialek bahasa yang utama. Bahasa Indonesiasebagai bahasa nasional adalah bahasa resmi dan digunakan oleh masyarakat, akan tetapi bahasa Toraja pun diajarkan di semua sekolah dasar di Tana Toraja.
Ragam bahasa di Toraja antara lain Kalumpang, Mamasa, Tae' , Talondo' , Toala' , dan Toraja-Sa'dan, dan termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia dari bahasa Austronesia. Pada
mulanya, sifat geografis Tana Toraja yang terisolasi membentuk banyak
dialek dalam bahasa Toraja itu sendiri. Setelah adanya pemerintahan
resmi di Tana Toraja, beberapa dialek Toraja menjadi terpengaruh oleh
bahasa lain melalui proses transmigrasi, yang diperkenalkan sejak masa penjajahan. Hal itu adalah penyebab utama dari keragaman dalam bahasa Toraja.
Denominasi | ISO 639-3 | Populasi (pada tahun) | Dialek | ||
---|---|---|---|---|---|
Kalumpang | kli | 12,000 (1991) | Karataun, Mablei, Mangki (E'da), Bone Hau (Ta'da). | ||
Mamasa | mqj | 100,000 (1991) | Mamasa Utara, Mamasa tengah, Pattae' (Mamasa Selatan, Patta' Binuang, Binuang, Tae', Binuang-Paki-Batetanga-Anteapi) | ||
Ta'e | rob | 250,000 (1992) | Rongkong, Luwu Timur Laut, Luwu Selatan, Bua. | ||
Talondo' | tln | 500 (1986) | |||
Toala' | tlz | 30,000 (1983) | Toala', Palili'. | ||
Torajan-Sa'dan | sda | 500,000 (1990) | Makale (Tallulembangna), Rantepao (Kesu'), Toraja Barat (Toraja Barat, Mappa-Pana). | ||
Sumber: Gordon (2005). |
Ciri
yang menonjol dalam bahasa Toraja adalah gagasan tentang duka cita
kematian. Pentingnya upacara kematian di Toraja telah membuat bahasa
mereka dapat mengekspresikan perasaan duka cita dan proses berkabung
dalam beberapa tingkatan yang rumit. Bahasa Toraja mempunyai banyak istilah untuk menunjukkan kesedihan, kerinduan, depresi, dan tekanan mental. Merupakan suatu katarsis bagi
orang Toraja apabila dapat secara jelas menunjukkan pengaruh dari
peristiwa kehilangan seseorang; hal tersebut kadang-kadang juga
ditujukan untuk mengurangi penderitaan karena duka cita itu sendiri.
Ekonomi
Sebelum masa Orde Baru, ekonomi Toraja bergantung pada pertanian dengan adanya terasering di lereng-lereng gunung dan bahan makanan pendukungnya adalah singkong dan jagung. Banyak waktu dan tenaga dihabiskan suku Toraja untuk berternak kerbau, babi, dan ayam yang dibutuhkan terutama untuk upacara pengorbanan dan sebagai makanan. Satu-satunya industri pertanian di Toraja adalah pabrik kopi Jepang, Kopi Toraja.
Dengan
dimulainya Orde Baru pada tahun 1965, ekonomi Indonesia mulai
berkembang dan membuka diri pada investasi asing. Banyak perusahaan
minyak dan pertambangan Multinasional membuka
usaha baru di Indonesia. Masyarakat Toraja, khususnya generasi muda,
banyak yang berpindah untuk bekerja di perusahaan asing. Mereka pergi
ke Kalimantan untuk kayu dan minyak, ke Papua untuk menambang, dan ke kota-kota di Sulawesi dan Jawa. Perpindahan ini terjadi sampai tahun 1985.
Ekonomi
Toraja secara bertahap beralih menjadi pariwisata berawal pada tahun
1984. Antara tahun 1984 dan 1997, masyarakat Toraja memperoleh
pendapatan dengan bekerja di hotel, menjadi pemandu wisata, atau menjual cinderamata. Timbulnya ketidakstabilan politik dan ekonomi Indonesia pada
akhir 1990-an (termasuk berbagai konflik agama di Sulawesi) telah
menyebabkan pariwisata Toraja menurun secara drastis. Toraja lalu dkenal
sebagai tempat asal dari kopi Indonesia. Kopi Arabika ini terutama dijalankan oleh pengusaha kecil.
Komersialisasi
Sebelum
tahun 1970-an, Toraja hampir tidak dikenal oleh wisatawan barat. Pada
tahun 1971, sekitar 50 orang Eropa mengunjungi Tana Toraja. Pada 1972,
sedikitnya 400 orang turis menghadiri upacara pemakaman Puang dari
Sangalla, bangsawan tertinggi di Tana Toraja dan bangsawan Toraja terakhir yang berdarah murni. Peristiwa tersebut didokumentasikan olehNational Geographic dan disiarkan di beberapa negara Eropa. Pada 1976, sekitar 12,000 wisatawan mengunjungi Toraja dan pada 1981, seni patung Toraja dipamerkan di banyak museum di Amerika Utara. "Tanah raja-raja surgawi di Toraja", seperti yang tertulis di brosur pameran, telah menarik minat dunia luar..
Pada tahun 1984, Kementerian Pariwisata Indonesia menyatakan Kabupaten Toraja sebagaiprimadona Sulawesi Selatan. Tana Toraja dipromosikan sebagai "perhentian kedua setelahBali". Pariwisata
menjadi sangat meningkat: menjelang tahun 1985, terdapat 150.000
wisatawan asing yang mengunjungi Tana Toraja (selain 80.000 turis
domestik), dan jumlah pengunjung asing tahunan tercatat sebanyak 40.000 orang pada tahun 1989. Suvenir
dijual di Rantepao, pusat kebudayaan Toraja, banyak hotel dan restoran
wisata yang dibuka, selain itu dibuat sebuah lapangan udara baru pada
tahun 1981.
Para
pengembang pariwisata menjadikan Toraja sebagai daerah petualangan yang
eksotis, memiliki kekayaan budaya dan terpencil. Wisatawan Barat
dianjurkan untuk mengunjungi desazaman batu dan pemakaman purbakala. Toraja adalah tempat bagi wisatawan yang telah mengunjungi Bali dan ingin melihat pulau-pulau lain yang liar dan "belum tersentuh". Tetapi suku Toraja merasa bahwa tongkonan dan
berbagai ritual Toraja lainnya telah dijadikan sarana mengeruk
keuntungan, dan mengeluh bahwa hal tersebut terlalu dikomersilkan. Hal
ini berakibat pada beberapa bentrokan antara masyarakat Toraja dan
pengembang pariwisata, yang dianggap sebagai orang luar oleh suku
Toraja.
Bentrokan antara para pemimpin lokal Toraja dan pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan (sebagai
pengembang wisata) terjadi pada tahun 1985. Pemerintah menjadikan 18
desa Toraja dan tempat pemakaman tradisional sebagai "objek wisata".
Akibatnya, beberapa pembatasan diterapkan pada daerah-daerah tersebut,
misalnya orang Toraja dilarang mengubah tongkonan dan tempat pemakaman
mereka. Hal tersebut ditentang oleh beberapa pemuka masyarakat Toraja,
karena mereka merasa bahwa ritual dan tradisi mereka telah ditentukan
oleh pihak luar. Akibatnya, pada tahun 1987 desa Kete Kesu dan beberapa
desa lainnya yang ditunjuk sebagai "objek wisata" menutup pintu mereka
dari wisatawan. Namun penutupan ini hanya berlangsung beberapa hari saja
karena penduduk desa merasa sulit bertahan hidup tanpa pendapatan dari
penjualan suvenir.
Pariwisata
juga turut mengubah masyarakat Toraja. Dahulu terdapat sebuah ritual
yang memungkinkan rakyat biasa untuk menikahi bangsawan (Puang),
dan dengan demikian anak mereka akan mendapatkan gelar bangsawan. Namun,
citra masyarakat Toraja yang diciptakan untuk para wisatawan telah
mengikis hirarki tradisionalnya yang ketat, sehingga status
kehormatan tidak lagi dipandang seperti sebelumnya. Banyak laki-laki
biasa dapat saja menyatakan diri dan anak-anak mereka sebagai bangsawan,
dengan cara memperoleh kekayaan yang cukup lalu menikahi perempuan
bangsawan.
Filosofi Tau
Secara
sadar atau tidak sadar, masyarakat toraja hidup dan tumbuh dalam sebuah
tatanan masyarakat yang menganut filosofi tau. Filosofi tau dibutuhkan
sebagai pegangan dan arah menjadi manusia (manusia="tau" dalam bahasa
toraja) sesungguhnya dalam konteks masyarakat toraja. Filosofi tau
memiliki empat pilar utama yang mengharuskan setiap masyarakat toraja
untuk menggapainya, antara lain: - Sugi' (Kaya) - Barani (Berani) -
Manarang (Pintar) - Kinawa (memiliki nilai-nilai luhur, agamis,
bijaksana) Keempat pilar di atas tidak dapat di tafsirkan secara bebas
karena memiliki makna yang lebih dalam daripada pemahaman kata secara
bebas. Seorang toraja menjadi manusia yang sesungguhnya ketika dia telah
memiliki dan hidup sebagai Tau.
0 Response to "Sejarah Asal Usul SUKU TORAJA "
Post a Comment